About Me

Nasib Miris Guru Honorer di Sistem Kapitalis

 Terimakasih telah mengirim opini di Gurukuaan.com




Pada hari ini penghormatan terhadap guru justru menyisakan sekelumit kisah pilu. Sebut saja guru honorer yang sudah lama kita dengar nasib apes mereka.

 Mati-matian berjuang demi menggapai kesejahteraan. Bagaimana tidak, gaji mereka masih belum layak. Malah ada yang 200 ribu perbulannya. Padahal mereka adalah bagian dari pahlawan yang memberi kontribusi besar dalam kemajuan bangsa.  

Wajar bila akhirnya mereka mengharapkan betul status Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Harapannya agar bisa mendapatkan  hak pendapatan berupa gaji dan tunjangan dengan besaran yang sama seperti PNS sesuai dengan level dan kelompok jabatan. Meski untuk mendapatkannya tidaklah mudah. Ada tes seleksi yang harus dituntaskan. 

Tapi, kabijakan mengangkat guru honorer menjadi PPPK menuai kritikan publik. 

PGRI meminta Kemendikbudristek yang dipimpin Mendikbudristek Nadiem Makarim meninjau kembali kebijakan rekrutmen PPPK 2021.

 Sebab, ujar Unifah, kebijakan ini dinilai tidak mempertimbangkan rasa keadilan, penghargaan terhadap pengabdian, dan dedikasi guru honorer. Padahal, ujar dia, para guru honorer itu melaksanakan tugas-tugas pembelajaran dan pelayanan pendidikan dalam situasi darurat kekurangan guru (jpn.com, 25/9/2021)

Desakan agar pemerintah menambah nilai afirmasi  kepada guru honorer dalam seleksi aparatur sipil negara pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (ASN-PPPK) terus disuarakan.

Permintaan tersebut salah satunya datang dari seorang guru honorer SMP di Jawa Barat, Cecep Kurniadi. Peserta seleksi guru PPPK 2021 ini meminta pemerintah memprioritaskan usia sepuh, khususnya guru honorer kategori II. “Minimal ada penghargaan kepada yang sudah lama mengabdi,” ujar Cecep kepada Tempo, Ahad, 19 September 2021.

Kategori II adalah status bagi guru honorer yang mengajar sebelum tahun 2005 dan belum kunjung diangkat menjadi guru tetap berstatus PNS.

Desakan menambah nilai afirmasi bukan tanpa alasan. Cecep menyebut ada sejumlah kendala yang dialami para guru honorer ketika mengikuti tes kompetensi seleksi PPPK tahun ini. Persoalan yang umumnya dialami, yaitu tingginya passing grade atau nilai ambang batas pada seleksi kompetensi teknis (tempo.co, 25/9/2021).

Prihatin. Miris. Padahal islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas warga Indonesia telah mengajarkan umatnya untuk memuliakan guru. Sebab tanpa guru gelaplah dunia, sesatlah perjalanan hidup dan rendahlah moral. Memuliakan guru sama saja memuliakan Allah. Begitupun sebaliknya. Merendahkan guru sama saja tidak mengagungkan Allah.

Nabi SAW bersabda seperti yang dikutip dalam Lubab al-Hadits  oleh Imam Jalaluddin al-Suyuthi, “Barangsiapa memuliakan orang berilmu (guru), maka sungguh ia telah memuliakan aku. Barangsiapa memulikan aku, maka sungguh ia telah memuliakan Allah. Barangsiapa memuliakan Allah, maka tempatnya di surga”.

Itulah mengapa Rasulullah memberi teladan dan diikuti para pemimpin (khalifah) setelahnya dalam urusan membalas jasa ulama maupun guru. Memanfaatkan segala potensi negara untuk mengoptimalkan sistem pendidikan berjalan baik tanpa ada kezalimam baik terhadap guru maupun murid.

Tidak hanya kurikulum, sarana prasarana, ketersedian SDM, biaya pendidikan, perpustakaan namun diikuti politik ekonomi yang mampu membangun kekuatan ekonomi negara secara sistemik. Sehingga kesejahteraan guru terjamin. Kemudian guru bisa fokus dan bersemangat mengajarkan ilmunya tanpa terbebani masalah ekonomi. Begitupun soal status guru PNS atau honorer tidak ada dalam islam. Semua guru yang mengajarkan ilmu yang bermanfaat mendapatkan kemuliaan dan penghormatan yang sama.

Perhatian Rasulullah dalam urusan pendidikan umatnya begitu besar. Salah satunya tampak dari tawanan perang yang diminta mengajarkan kaum muslimin baca tulis sebagai syarat kebebasan. Perlu diketahui bahwa para tawanan boleh membebaskan diri dengan membayar tebusan antara 1000 - 4000 dirham. Bagi orang yang tidak mampu membayar, dia tetap dapat bebas, dengan syarat ia harus mengajar membaca dan menulis kepada sepuluh orang pemuda Madinah. Jika pemuda yang mereka ajari sudah mahir membaca dan menulis, mereka bebas dari tawanan (Al-Mubarrakfuri, Ar-Rakhiqul Makhtum, 2007 : 229; Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, Jilid 2 : 69; Muhammad Syafi’i Antonio, Muhammad SAW The Super Leader, Super Manager, 2007 : 186).

Tebusan 1000-4000 dirham merupakan nilai yang besar. Jika dirupiahkan jumlahnya sekitar Rp. 82.180.000  -  Rp. 328. 720. 000. Artinya secara tidak langsung Rasulullah menghargai jasa seorang guru setara dengan harga fantastis tersebut. 

Khalifah Umar bin Khaththab juga memberikan penghormatan besar terhadap jasa guru. Di riwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, dari Sadaqoh ad-Dimasyqi, dar al- Wadl-iah bin Atha, bahwasanya ada tiga orang guru di Madimah yang mengajar anak-anak dan Khalifah Umar bin Khattab memberi gaji lima belas dinar (1 dinar = 4,25 gram emas; 15 dinar = 63,75 gram emas; bila saat ini 1 gram emas Rp. 500 ribu, berarti gaji guru pada saat itu setiap bulannya sebesar 31.875.000).


Hal demikian karena islam menetapkan politik negara untuk riayah umat. Mengurusi urusan umat melalui penguasa (khalifah) yang ruhnya adalah takwa, bukan materi. Sistem kehidupan yang diterapkan Rasulullah dan para sahabat adalah islam kaafah yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa, Allah swt.

“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)

Oleh karena itu sungguh sulit mendapatkan penghormatan terbaik bagi guru di sistem kapitalisme saat ini. Seleksi PPPK itu memperlihatkan buruknya sistem kapitalisme sekuler membiayai dunia pendidikan. Padahal Indonesia adalah negeri yang kaya raya, melimpah sumber daya alamnya. Namun karena berkuasanya para kapital nasib umat seperti kelaparan di lumbung padi. Sistem kapitalisme justru menjadikan guru-guru honorer seakan budak pendidikan yang diiming-imingi jargon pahlawan tanpa tanda jasa. Kasihan.

Sistem kapitalisme memiliki akidah sekuler. Memisahkan agama dari kehidupan. Maka wajar jika orang-orang sekuler tidak tergiur pahala dalam memuliakan guru. Tidak tergiur pula jaminan surga dalam membangun peradaban gemilang berlandaskan risalah islam yang membutuhkan peran guru.

Sudah menjadi kewajiban kaum muslimin meninggalkan sistem kapitalime sekuler yang berkali-kali gagal memuliakan guru. Lalu beralih pada sistem kehidupan islami yang dibawa Rasulullah sebagai satu-satunya sistem cemerlang yang memberikan keadilan dan penghormatan tertinggi bagi para pengemban ilmu.

Wallahu a’lam bish-shawabi


Penulis: Dewi Murni,  Praktisi Pendidikan Al-Quran, Balikpapan Selatan

Post a Comment

1 Comments

  1. waduh miris sekali nasib guru honorer.
    jangan lupa berkunjung ke blog ane gan yo https://www.ibank-production.com/

    ReplyDelete